Tampilkan postingan dengan label Sistem Pencernaan Kelinci. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sistem Pencernaan Kelinci. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 April 2011

Sistem Digesti pada Kelinci

Kelinci termasuk pseudoruminant yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar dengan baik. Kelinci memfermentasikan pakan di coecum yang kurang lebih 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya (Sarwono, 2001).
Menurut Blakely dan Bade (1991), sistem pencernaan kelinci merupakan sistem pencernaan yang sederhana dengan coecum dan usus yang besar. Hal ini memungkinkan kelinci dapat memanfaatkan bahan-bahan hijauan, rumput dan sejenisnya. Bahan-bahan itu dicerna oleh bakteri di saluran cerna bagian bawah seperti yang terjadi pada saluran cerna kuda. Kelinci mempunyai sifat coprophagy yaitu memakan feses yang sudah dikeluarkan. Feses ini berwarna hijau muda dan lembek. Hal ini terjadi karena konstruksi saluran pencernaannnya sehingga memungkinkan kelinci untuk memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah atau yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecah selulose/serat menjadi energi yang berguna.
Urutan sIstem digesti kelinci adalah sebagai berikut:

Mulut. Di dalam mulut terjadi pencernaan secara mekanik yaitu dengan jalan mastikasi bertujuan untuk memecah pakan agar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan mencampurnya dengan saliva yang mengandung enzim amilase yang mengubah pati menjadi maltosa agar mudah ditelan (Kamal, 1982).

Oesophagus. Merupakan lanjutan dari pharing dan masuk ke dalam cavum abdominale dan bermuara pada bagian ventriculus (Anonimous, 1990).

Ventriculus. Lambung kelinci disebut juga ventrikulus yang terdiri dari tiga bagian yaitu bagian awal (kardia), bagian tengah (fundus) dan bagian akhir (pilorus). Ventrikulus berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakan dan tempat terjadinya proses pencernaan dimana dinding lambung mensekresikan getah lambung yang terdiri dari air, garam anorganik, mucus, HCl, pepsinogen dan faktor intrinsik yang penting untuk efisiensi absorbsi vitamin B12. Keasaman getah lambung bervariasi sesuai dengan macam makanannya. Pada umumnya sekitar 0,1N atau ber-pH lebih kurang dari 2 (Kamal, 1982).

Usus halus. Terdiri dari duodenum, jejenum dan illeum. Kelenjar branner menghasilkan getah duodenum dan disekresikan ke dalam duodenum melalui vili-vili dan getah ini bersifat basa. Getah pankreas yang dihasilkan disekresikan ke dalam duodenum melalui ductus pancreaticus. Jejenum merupakan kelanjutan dari duodenum dan illeum di sebelah caudal ventriculus dan berfungsi sebagai tempat absorbsi makanan (Kamal, 1982).

Coecum. Berbentuk seperti kantung berwarna hijau tua keabu-abuan. Dalam coecum makanan disimpan dalam waktu sementara. Pencernaan selulosa dilakuakan oleh bakteri yang menghasilkan asam asetat, propionat dan butirat (Aminudin, 1986).

Intestinum crassum. Colon berjalan ke arah caudal diagonal menyilang coecum. Di sini terdapat ascenden dan colon transverasum, colon descenden dan colon sigmoideum yang belum jelas (Aminudin, 1986).

Rectum. Rectum merupakan kelanjutan dari colon dan membentuk feses. Rektum berakhir sebagai anus (Aminudin, 1986).

Anus. Feses yang keluar lewat anus mengandung air. Feses merupakan sisa makanan yang tidak tercerna. Cairan dari tractus digestivus, sel-sel epitel usus, mikroorganisme, garam organik, stearol dan hasil dekomposisi dari bakteri keluar melalui anus (Kamal, 1982).

Jumat, 25 Maret 2011

Perawatan dan Kontrol Penyakit pada Kelinci

Menurut Whendrato dan Madyana (1986), kandang yang kotor mudah menimbulkan penyakit cacing, kudis, serta penyakit yang disebabkan oleh kuman/bakteri. Kandang yang salah konstruksi atau bahannya akan membuat kandang mempunyai kelembapan yang tinggi, bahkan lantai selalu basah sehingga akan menyebabkan penyakit kudis, kembung, pilek, cacing, jamur dan sebagainya. Kesalahan dalam membuat ventilasi yang juga berperan dalam pengaturan sinar matahari, angin langsung, sirkulasi udara segar, berhubungan dengan penyakit pilek, kembung, kudis, rachitis, gangguan telinga roboh, kanibal, kurang nafsu makan, mencret dan sebagainya.

Menurut Poespo (1986), penyakit dalam seperti cacing dan coccidia dapat diobati dengan diberi obat cacing sedangkan penyakit kulit, excema, kudis dan kerontokan bulu dapat diobati dengan memberi campuran minyak kelapa dan bubukan welirang, larutan kapur dengan kunyit dan bawang merah yang dioleskan pada bagian kulit yang sakit setiap 2 sampai 3 hari sekali.

Pemeliharaan kelinci sebenarnya mudah, namun tidak terlepas dari ancaman dan gangguan penyakit. Kelinci yang terserang penyakit pada umumnya menunjukkan gejala-gejala antara lain lesu, nafsu makan tidak ada, mata sayu, suhu badan naik turun, dan beberapa tanda khas dari penyakit yang menghinggapinya. Kelinci yang menunjukkan tanda-tanda seperti ini sebaiknya langsung dipisahkan untuk menghindari penyakit menular (Sarwono, 2001). Beberapa penyakit yang menyerang antara lain:

Coccidiosis (berak darah). Penyebabnya adalah coccidia, gejala penyakit ini digolongkan menjadi 3 tipe yang ringan tanpa gejala, yang sedang mencret dan kehilangan berat badan, yang berat perut tampak besar, mencret bercampur darah yang diikuti pneumonia. Pencegahan dengan membersihkan dan mengeringkan kandang. Pengobatan dengan obat sul-Q-Nox, Noxal, Sulfa Strong (Sarwono, 2001).

Pneumoia (radang paru-paru). Disebabkan oleh sebangsa bakteri yaitu pasturella multocida. Gejalanya antara lain pernafasan lewat hidung dan sesak nafas, mata dan telinga berwarna kebiruan, paru-paru lembab dan kadang-kadang berisi nanah, dan diikuti dengan mencret (scours). Dapat diobati dengan sul-Q-Nox yang dicampurkan pada makanan atau minuman (Sarwono, 2001).

Mastitis (radang susu). Disebabkan oleh bakteri Staphylococcus. Gejalanya antara lain temperatur naik, susu dalam keadaan panas, serta kemerah-merahan. Air susu keruh, hitam keunguan, puting berwarna merah tua atau kebiruan dan nafsu makan berkurang. Penyakit ini dapat diobati dengan injeksi dengan penicillin 2 kali sehari. Kandang didesinfektan dan tidak boleh memindahkan anak dari induk sakit ke induk yang sehat (Sarwono, 2001).

Bloat (kembung). Penyebabnya udara dalam kandang lembab/basah, angin langsung, salah makan. Gejalanya antara lain biasanya kelinci berdiri dengan posisi membungkuk, kaki depan agak maju, telinga turun, mata surut dan memicing, gigi berkerat menahan haus selalu mendekati tempat minum, kotoran berwarna hijau gelap dan berlendir. Penyakit ini dapat diobati dengan Stop Diare dan Gastrop, Hermohagil, Diarrheal Enteritis (Sarwono, 2001).

Coriza/pilek (Snuff). Penyebabnya adalah bakteri. Gejalanya adalah bersin-bersin, nafsu makan menurun dan kaki selalu menggaruk-garuk lubang hidung. Pencegahannya sanitasi kandang, kepadatan kandang diperhatikan, peningkatan gizi pakan, pemberian vitamin dan mineral harus cukup. Pengobatan dengan memberikan Cavia Drops (diberikan 3 sampai 5 tetes per hari per ekor) (Sarwono, 2001).

Kamis, 24 Maret 2011

Pakan Kelinci

Faktor pakan merupakan factor utama dalam mengembangkan kelinci. Oleh karena itu berhasil tidaknya suatu usaha ternak kelinci juga sangat bergantung kepada perhatian peternak di dalam memberikan pakan baik kualitas maupun kuantitasnya. Selain pakan kelinci juga perlu diberi minum, karena air merupakan zat yang dibutuhkan kelinci. Tempat pakan dan minum bervariasi jenisnya, mulai dari wadah biasa sampai pada sistem persediaan pakan dan air otomatis (Blakely dan Bade, 1991).
Sistem pencernaan kelinci adalah sistem pencernaan yang sederhana (monogastrik) dengan coecum dan usus besar. Hal ini memungkinkan kelinci dapat makan dan memanfaatkan jenis pakan hijauan berupa daun-daunan, sayuran maupun rumput seperti kangkung, bayam dan umbi-umbian seperti wortel, ketela rambat, dan biji-bijian setelah ditumbuk, yaitu beras, kedelai, dedak, bekatul yang merupakan makanan sehat untuk kelinci (Smith dan Soesanto, 1988).
Tidak seperti halnya hewan mamalia lainnya, kelinci mempunyai kebiasaan makan feses yang telah dikeluarkan. Sifat ini disebut coprophagy. Keadaan ini sangat umum terjadi pada kelinci dan hal ini berdasar pada kontruksi saluran pencernaannya. Sifat coprophagy biasanya terjadi berdasarkan pada malam atau pagi hari berikutnya. Feses yang berwarna hijau muda dan konsintensi lembek dimakan lagi oleh kelinci. Feses yang dikeluarkan pada siang hari dan telah berwarna coklat serta mengeras, tidak dimakan. Hal ini memungkinan kelinci itu memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah, yaitu mengkonversikan protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecahkan selulose atau serat menjadi energi yang berguna. Jadi sifat coprophagy sebenarnya memang menguntungkan bagi proses pencernaan (Blakely dan Bade, 1991).
Menurut Nugroho (1982), menyatakan bahwa kebutuhan kelinci akan potong tiap hari adalah hijauan dan umbi-umbian untuk kelinci dewasa adalah 0,5-1 kg/ekor/hari. Konsentrat adalah 200-300 gr/ekor/hari dengan kadar protein 12%, sedangkan untuk anak kelinci (1-6 bulan) kadar proteinnya 16 % dan ME 2500 Kcal, untuk kelinci menyusui protein 17% dan ME 2500 Kcal.